Kualitas Software: Apakah Kita Terlalu Idealistis?
Kualitas Software
Kualitas Software: Apakah Kita Terlalu Idealistis?
"Software berkualitas tinggi itu penting." Kalimat itu sering saya dengar, baca, bahkan saya ucapkan sendiri. Tapi, benarkah kualitas selalu jadi prioritas utama dalam dunia nyata pengembangan perangkat lunak?
Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel ilmiah yang cukup menggugah pikiran. Judulnya "Software Quality: How Much Does It Matter?" ditulis oleh Amrit, Paasivaara, dan Runeson pada tahun 2022. Artikel ini membuka mata saya terhadap realita yang terjadi di balik layar industri teknologi---tentang bagaimana kualitas software sering kali dinegosiasikan, bahkan dikorbankan.
Artikel ini bukan sekadar opini, tetapi hasil studi kualitatif terhadap para profesional software dari berbagai perusahaan. Mereka diwawancarai untuk mengetahui bagaimana mereka memandang kualitas dalam proyek mereka masing-masing. Dan hasilnya cukup mencengangkan: kualitas ternyata tidak selalu jadi prioritas utama.
Kualitas Itu Relatif, Bukan Mutlak
Salah satu hal yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana artikel ini mengungkap bahwa kualitas perangkat lunak ternyata bersifat kontekstual. Dalam situasi dengan tekanan waktu tinggi, tuntutan pasar, atau keterbatasan sumber daya, tim pengembang sering kali harus memilih antara kualitas dan kecepatan rilis. Dan keputusan yang diambil? Sering kali kualitas dikorbankan.
Lebih lanjut, banyak organisasi menilai kualitas hanya dari aspek fungsi. Apakah aplikasinya berjalan? Apakah fiturnya sesuai permintaan? Jika iya, maka dianggap sudah "berkualitas". Sayangnya, aspek penting lain seperti maintainability (mudah dirawat), usability (mudah digunakan), dan scalability (mudah berkembang) justru sering terabaikan.
Frustrasi di Balik Kode
Saya pribadi merasa terhubung dengan cerita para pengembang dalam artikel ini. Banyak dari mereka merasa frustrasi karena mereka tahu keputusan untuk menurunkan standar kualitas akan berdampak jangka panjang. Mereka sadar bahwa hal itu bisa menimbulkan technical debt, semacam "utang masa depan" yang harus dibayar dengan biaya perbaikan atau pengembangan yang lebih besar nantinya.
Namun, tekanan dari sisi bisnis membuat mereka tak punya pilihan. Dalam dunia startup misalnya, yang penting adalah segera "go to market". Kalau lambat, bisa kalah bersaing. Dan di sinilah konflik antara teknis dan bisnis mulai terasa nyata.
Realita vs Idealisme
Artikel ini membuat saya merenung. Selama ini kita terlalu idealis memandang kualitas. Kita pikir software harus "sempurna", padahal realitanya dunia pengembangan software adalah tentang prioritas, waktu, dan sumber daya.
Bukan berarti kita boleh menyepelekan kualitas, tentu tidak. Tapi kita perlu lebih realistis: software yang cukup baik dan tepat waktu sering kali lebih bermanfaat daripada software yang sempurna tapi terlambat.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kualitas Software: Apakah Kita Terlalu Idealistis?", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/sultonabdulaziz2464/68255978ed64153e811c1d52/kualitas-software-apakah-kita-terlalu-idealistis
What's Your Reaction?






